VERSI BARU

4 days ago

 Ini adalah tulisan yang dibuat saat pandemi lalu. Saya menemukan di folder naskah. Ditulis pada 9 Agustus 2020. Semoga masih relevan dengan masa kini. 


https://www.pexels.com/id-id/foto/tanda-penanda-isyarat-penulisan-3952231/


            Happiness is like being cool, the harder you try the less it’s going to happen. So stop trying. Start living.” Mark Manson

            Siapa yang tidak terimbas oleh pandemi? Sepertinya tak ada yang akan mengacungkan tangan. Sekecil apa pun, pandemi ini memiliki efek bagi semuanya. Mereka yang berada, terkurangi kenikmatan yang sebelum pandemi mudah didapat. Kalaupun secara finansial mereka aman, bahkan tetap melimpah, namun apa yang bisa dilakukan oleh uang tanpa rasa aman? Mungkin tetap bisa bepergian ke mana saja dimau, tapi kenyamanannya berkurang drastis. Banyak protokol kesehatan yang harus dipatuhi: dokumen tes rapid, standar kelengkapan pribadi (masker, hand-sanitzer), hingga harus menjalani pemeriksaan di beberapa titik.

            Bagi yang berekonomi pas-pasan, kondisi ini memaksa mereka memperketat pengeluaran. Pada saat yang sama, perlu memutar otak agar ada tambahan pemasukan.  Pandemi ini menimbulkankan kesulitan ekonomi dimana-mana. Dalam laman Kementrian Keuangan disebutkan mengenai definisi kesulitan ekonomi menurut World Bank. Kesulitan ekonomi identik dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Ukuran umumnya adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar hidup yang diantaranya tercermin melalui konsumsi rumah tangga.

            Pada triwulan I, konsumsi rumah tangga hanya sebesar 2,84%. Ini menurun drastis dari triwulan I tahun 2019 yang mencapai 5,02%, sedang pada triwulan IV 2019 sebesar 4,97%. Penurunan ini sekaligus juga menunjukkan penurunan daya beli masyarakat.

            Persoalan ekonomi adalah persoalan survival, bagaimana bertahan hidup.  Bagaimana yang berjualan tetap mampu berjualan; bagaimana yang diPHK tetap mampu mencari makan. Kebutuhan dasar yang belum terpenuhi dengan baik akan mengurangi kebahagiaan.

            Pada saat yang sama, perubahan besar juga terjadi pada sektor pendidikan. Anak-anak bersekolah dari rumah. Guru memberikan pembelajaran secara daring. Orang tua kembali disibukkan dengan pengawasan dan pendampingan belajar. Kondisi ini menimbulkan berbagai ketidakpuasan dan ketaknyamanan semua pihak, baik guru, siswa maupun orang tua.  Ragam keluhan muncul di media sosial.  Sebagian mengundang gelak tawa sebab disampaikan secara lucu dan menggelitik.

            Benarlah apa yang dikatakan Mas Nadiem Makarim, bahwa perubahan adalah hal yang sulit dan penuh ketidaknyamanan. Pandemi memaksa pelaku bisnis memikirkan cara untuk bertahan di tengah himpitan. Pandemi memaksa siswa menemukan cara baru belajar yang efektif, nyaman dan terhindar dari rasa malas serta jemu. Orang tua harus berjibaku membagi pikiran dan konsentrasi: antara mencari nafkah, mengurusi rumah dan mendampingi belajar anak-anak

Pertanyaan mendasar saat melewati masa pandemi ini adalah: apa versi barumu ketika pandemi ini berakhir? Ibarat ulat, masa pandemi seperti kempompongnya. Berdiam di rumah dalam waktu lama, sementara aktivitas rutin masa normal berkurang. Apakah kita mampu bermetamofosis menjadi kupu-kupu yang cantik?  Di mana fokus diletakkan: pada kesulitan atau pada peluang?

            Selalu ada alasan untuk mengeluh, sebagaimana juga selalu ada alasan untuk bersyukur. Kita bebas memilih diantara keduanya. Mengeluh menambah beban persoalan, bersyukur mendatangkan kelapangan, kemudahan dan ketangguhan.

            Bagaimana menjadi orang tua yang bersyukur? Formula yang diberikan Mas Nadiem bisa menjadi titik tolak perubahan. Rumusan ini memang untuk guru, namun tetap relevan diterapkan di rumah. Sebab pandemi ini menyeret kita para orang tua untuk menjadi guru privat bagi  anak-anak kita.

            Dalam pidato peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019, Mas Nadiem mengajak para guru melakukan perubahan kecil di kelas. Ada empat poin yang disampaikan, yang saya kutip di sini  tiga saja. Pertama, ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar. Kedua, beri kesempatan pada murid di kelas untuk mengajar. Ketiga, temukan satu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri.

            Ketiga formula itu tidak hanya baik untuk pembelajaran mata pelajaran  dalam belajar daring. Konsep itu juga relevan diterapkan untuk meneguhkan ketaqwaan dan keimanan.

            Pertama, mengajak  berdiskusi. Kebersamaan dalam rumah dalam rentang waktu yang panjang emungkinkan terjadinya interaksi yang lebih intensif. Dengan prasyarat yang sederhana, banyaklah mendengar. Gaya berkomunikasi a la orang tua yang cenderung satu arah harus diubah. Beri kesempatan anak-anak berbicara, mengungkapkan apa pun yang ingin mereka sampaikan. Tahan diri dari menilai, judgement. Hindari memberi nasihat tanpa diminta atau tanpa ditanya.

            Bagian pertama ini awalnya terasa sulit bagi kami. Saya dan suami sama-sama guru. Kebiasaan berceramah terbawa sampai rumah. Ketika anak-anak bercerita, kami menahan diri dari mengomentari. Hanya mendengar, mengangguk-angguk, atau tertawa bersama. Ternyata langkah ini cukup efektif. Anak-anak leluasa mengungkapkan pemikiran dan perasaan tanpa beban. Ketika tiba waktu menyampaikan nasihat, isi petuah itu lebih tepat dan sesuai konteks. Karena dari curahan cerita mereka,  kami jadi mengetahui apa  kebutuhannya.

            Kedua, beri kesempatan murid untuk mengajar. Anak-anak diberi kesempatan menyampaikan nasihat secara bergiliran. Bahannya bisa dari mana saja. Dari buku agama, dari majalah atau koran, atau dari salah satu koleksi buku kami di perpustakaan keluarga. Semula mereka protes, karena merasa malu dan grogi harus tampil di depan keluarga. Lama-lama mereka nyaman dan lebih santai. Kami melakukan ini setelah salat tarawih.

            Manfaat kegiatan ini adalah menambah rasa percaya diri, mengasah kemampuan komunikasi dan menyampaikan ide, memperluas wawasan dan pengetahuan. Mereka juga terlatih mendengar sekaligus menghargai pembicara.

            Ketiga, temukan satu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri.  Keuntungan  lain  yang dimunculkan dalam pandemi ini bagi orang tua yaitu kesempatan yang panjang untuk memindai bakat dan potensi dalam diri anak.  Cari apa yang menjadi kesenangan mereka.

            Seorang siswi SMK swasta mengasah kemampuan berjualan secara daring. Ia menjadi reseller pernik-pernik asesoris yang berhubungan dengan artis Korea. Penghasilannya lumayan, ia memiliki tabungan yang cukup. Ada juga siswa saya yang memilih bekerja pada kerabat dekatnya. Ia mengajukan izin khusus mengumpulkan tugas sore hari karena pagi hari bekerja. Tentu tidak masalah, selama alasan yang disampikan benar adanya.

            Lalu bagaimana anak-anak saya di rumah? Kemampuan mereka rata-rata pada berbicara di depan umum dan menulis. Mereka juga suka membaca. Selama pandemi sudah beberapa buku yang tuntas dibaca. Untuk menambah gizi pengetahuan, kami membuat agenda khusus bersama: berlatih public-speaking atau berbicara.

            Topik dipilih dari tulisan esai atau  opini di sebuah koran nasional. Sengaja ditentukan jenis tulisan agar anak-anak terbiasa dengan bacaan yang ilmiah. Bobot tema dalam tulisan itu cukup berat. Saya membantu mereka ketika menemukan kesulitan istilah.

            Mereka mencatat ide pokok tulisan, mengaitkannya dengan informasi dan pengetahuan dari sumber lain. Konten tulisan dibahas bersama sekaligus dianalisis sedikit demi sedikit.

            Pada awalnya terasa berat. Mereka menyampaikan keluhan tentang  bobot tulisan yang dianggap sangat serius. Istilah dalam  ekonomi, kesehatan, pendidikan yang ilmiah menjadi tambahan pengetahuan baru. Keberanian tampil menyampaikan isi artikel semakin meningkat.

            Berikutnya saya memikirkan kenyamanan belajar public speaking ini. Jika mereka berlatih sendiri, lama kelamaan akan bosan. Kami sepakat mengajak sahabat-sahabat mereka, berlatih  bersama dengan kelompok masing-masing.

            Ternyata ajakan ini mendapat sambutan yang cukup antusias dari sahabat-sahabatnya. Terbentuklah tiga kelompok, yaitu kelompok mahasiswi bersama anak pertama. Kedua kelompok SMA, untuk anak kedua. Terakhir kelompok SMP, untuk anak ketiga dan kawan-kawannya.

            Jumlah peserta tiap kelompok bervariasi, Yang paling banyak kelompok pertama,  yaitu enam orang. Tempat berlatih di selasar rumah yang luas dan terbuka. Tentunya dengan menerapkan standar protokol Covid-19.

Teknik latihan masih sama. Membaca artikel dari koran, mencatat  gagasan-gagasannya dan mempresentasikan. Bagi kelompok pertama dan kedua tidak ada kesulitan berarti. Di kelompok ketiga, say amemberi waktu untuk berlatih mandiri. Mereka berpencar sendiri-sendiri dan berbicara keras-keras seolah sedang presentasi. Saya mendorong mereka untuk berbicara dengan suara lantang. Grogi atau gugup cendenrung membuat suara seperti tercekik atau hilang perlahan.

Tidak cukup sampai di sini. Ada tantangan baru  yang saya berikan pada mereka, yaitu siaran langsung melalui Instagram. Sekadar bicara di depan pelatih dan peserta sudah bisa. Waktunya untuk merambah segmen yang nyata, yaitu para pemirsa Instagram. Semula mereka keberatan dengan alasan malu dan takut.

Penekanan yang saya berikan adalah siaran langsung lewat IG memungkinkan gagasan dalam tulisan yang mereka baca bisa didengar orang banyak. Siapa tahu menambah pengetahuan. Siapa tahu membuat pendengar terinspirasi. Peluang kebaikan dari berbagi ilmu ini layak untuk diperjuangkan.

Sampai sekarang, siaran langsung IG ini sudah mencapai episode kelima. Mereka tampak menikmati dan menjalankan peran sebagai narasumber dengan sungguh-sungguh. Ini lompatan yang besar. Melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak terbayangkan mampu tentu menaikkan rasa percaya diri. Ini merupakan keberhasilan yang layak dirayakan.

Potensi lain pada anak-anak  yang perlu dipacu  disesuaikan dengan karakter masing-masing. Anak pertama saya tugasi menjadi admin penjualan buku. Dia memiliki job description yang jelas: menjawab pertanyaan  pembeli, menghitung ongkir, mengirim dan memberikan kabar pengiriman jika dibutuhkan.

Pada anak kedua, potensi lain adalah menulis dan berdebat. Mengikuti lomba menulis merupakan cara efektif untuk memaksanya memiliki target karya. Anak ketiga kami berpotensi besar pada hafalan Al Quran. Dia membuat rencana jadwal setoran dan tes hafalan per-juz. Yang terakhir lebih banyak beraktiitas fisik.  Bersama Ayah, dia bertanggung jawab atas kebun sayur mini di pagar rumah dan membuat pengomposan. Sampah organik dipisah dan ditempatkan dalam wadah khusus  sampai menjadi kompos. Mereka berdua juga membuat sabun cair yang dipakai untuk mencuci pakaian.

Prestasi tidak melulu bicara tentang piala atau kemenangan. Capaian ketrampilan dan pengetahuan juga bagian dari prestasi yang layak untuk diapresiasi. Interaksi yang sehat, saling mendukung dan menyemangati  ini sangat bermakna bagi penguatan ikatan emosi antaranggota keluarga. Hubungan yang harmonis dan hangat  menjadi pondasi yang  kuat bagi ketahanan keluarga.

Tak perlu biaya besar untuk mewujudkan ketahanan keluarga yang kukuh. Hanya dibutuhkan kearifan, kemauan mendengar, tujuan  yang jelas, langkah yang spesifik untuk mencapai target. Mulailah dari apa yang disukai, fokus dalam mengembangkan dan milikilah capaian.

Keluarga adalah aset besar dalam pembentukan peradaban. Orang tua dan anak perlu bekerja sama mewujudkan keluarga yang beriman, bertaqwa, berdaya dan berprestasi. Manfaatkan pandemi untuk membangun versi baru diri yang akan mendorong semangat beramal dan berkontibusi.

Tak perlu menyalahkan pandemi. Jalani dan nikmati ragam kegembiraan dan  kesulitan di dalamnya dengan bergerak, berbuat,, dan berkontribusi.  Sebagaimana kutipan dari Mark Manson di awal tulisan ini: Kebahagiaan justru muncul saat kita bisa menikmati setiap hal yang bisa kita lakukan.

Perubahan baik selalu dimulainya dari diri, lalu keluarga. Jadi, apa versi barumu?

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.