SEKILAS LINTAS

Sabtu, Maret 15, 2025

 

Kami sudah menikah 25 tahun enam bulan. Saya yang heboh, ekspresif, centil, ngambekan, ketemu dengan Mas Budi yang pendiam, cool, sabar, penyayang, suka menabung, hemat, cermat dan bersahaja. Menikah tanpa pacaran, berdiri berdekatan pertama adalah saat penyerahan mahar. Lalu foto bersama.

Mas Budi terkejut mendapati keluaga saya yang  periang, dan suka bercerita. Kami delapan bersaudara, perempuan semua. Konferensi bisa di mana saja. Di meja makan, di ruang tengah, di teras, di kamar. Macam-macam yang diceritakan.

“Ramai sekali,” bisik Mas Budi di pekan pertama menikah.

Sebaliknya, keluarga Mas Budi rata-rata pendiam. Sehari setelah menikah, kami menginap di rumah Bapak dan Ibu. Kami berempat duduk di teras rumah yang luas, menghadap jalan. Selama lebih dari setengah jam, saya hanya duduk diam. Karena semua juga diam. Memandang jalan, nyaris tanpa berkata apa-apa. Sesekali ada yang lewat dan menyapa Bapak dan Ibu, barulah ada suara. Saya merasa seperti sedang menghitung angkot yang lewat. Anteng, duduk manis Heningnya mengingatkan salah satu acara upacara: mengheningkan cipta, mulai!

Jiwa bawel saya mendesak-desak minta dibebaskan. Oh, tidak begitu, Ferguso! Ini hari pertama, jaim dululah sebentar. Nah, sampai pada detik Mas Budi perlu ke kamar, saya membuntuti di belakangnya.

“Eh, eh, itu memang biasa begitu?” Saya memberanikan diri bertanya.

“Kenapa?”

“Duduk diam gak bicara apa-apa? Kok betah?”

Mas Budi tertawa sambil mengelus kepala saya.

“Kok bisa?” Saya masih penasaran. Mas Budi tidak menjawab apa-apa. Ya, ya, baiklah. Setelah itu saya membiasakan diri. Menjadi manis, pendiam, dan anteng saat berkumpul keluarga besarnya.

Keluarga saya juga tak kalah heran dengan Mas Budi.

“Bapak bingung kalau sama Budi, gak ada suaranya,” kata Bapak pada salah satu Teteh. Bapak baru menghadapi satu orang pendiam, lha saya menghadapi banyak orang pendiam.

Dalam hal ekspresi, Mas Budi datar saja. Berbeda dengan saya yang serupa bola bekel. Tidak bisa diam dalam waktu lama. Bergerak ke sana ke sini. Bercerita bisa panjang lebar, dari ini hingga itu. Begini sampai begitu. Mas Budi mendengarkan saja, mengangguk-angguk. Kadang saya bercerita dari a sampai z, tak ada respon. Begitu diintip, matanya sudah terpejam. Beuh, serasa menjadi tukang dongeng pengantar tidur saja!




            

Begitu sekilas lintas. Setelah 25 tahun menikah, saya jadi tahu bagaimana menghadapi situasi ini. Jika ingin bercerita, bercerita saja. Mas Budi tetap mengangguk-angguk. Kalau setelah itu dia tertidur, tak apa. Saya akan balik badan dan ikut tidur. Ceritanya lanjut besok saja lagi!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.