REPOSISI PERAN

Kamis, Maret 13, 2025

 Tulisan ini juga dibuat saat pandemi. Tercatat tanggal 8 Mei 2021 pada folder. 


https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-anak-anak-laki-laki-bocah-laki-laki-8457289/


            “Apa yang harus dilakukan pada peserta didik yang tidak mengumpulkan tugas?”

            Pertanyaan itu disampaikan dalam rapat kenaikan kelas bersama para wali kelas.  Selama belajar jarak jauh,sekolah kami sudah berusaha menfasilitasi guru dan peserta didik agar bisa tetap belajar dari rumah. Guru diberi insentif pulsa, demikian juga peserta didik. Tujuannya jelas: untuk mendukung proses pembelajaran jarak jauh yang banyak dilakukan secara online.

            Secara praktik ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Beberapa guru masih belum memiliki keterampilan TIK yang memadai. Untuk mengatasi itu, sekolah memberikan pelatihan menggunakan salah satu aplikasi pembelajaran jarak jauh. Tentu dengan menerapkan standar Covid 19 seperti pada umumnya: bermasker, jaga jarak aman, jumlah peserta dibatasi.

            Di sisi peserta didik, tidak semua mengumpulkan tugas tepat waktu. Ada yang perlu ditagih berkali-kali hingga melibatkan orang tua. Alasannya macam-macam. Kehabisan pulsa, tidak punya kuota data, tidak tahu.

            Pembelajaran  jarak jauh yang banyak dipilih adalah melalui WA. Peserta didik diberi modul (atau menggunakan buku pelajaran yang dimiliki), lalu diberi tugas. Cara ini dianggap  paling mudah, sebab guru tinggal memberikan instruksi untuk mempelajai bab sekian halaman sekian. Kerjakan halaman sekian, tanggal sekian dikumpulkan. Akhirnya yang terjadi adalah: pembelajaran jarak jauh identik dengan tugas menumpuk.

            Gawai menjadi barang yang  sanga penting. Dua anak saya (karena masih usia SD dan SMP) belum punya gawai pribadi. Jam-jam tertentu gawai saya dan milik suami berada di tangan mereka. Untuk mengunggah video praktik, setor hafalan Al Quran, atau mengirim gambar tugas.

            Belajar dari rumah menjadi budaya baru. Terjadi reposisi peran guru dan orangtua. Sebelum pandemi COvid 19, hari Senin sampai Jumat, dari pukul setengah tujuh pagi hingga pukul tiga  sore (kadang sampai pukul lima sore), anak-anak berada di sekolah. Belajar bersama guru dan teman-teman. Orangtua mengecek tugas dan mendampingi belajar di rumah pada malam hari. Kini setiap hari, 24 jam, mereka bersama orangtua di rumah.

            Kondisi sekarang memaksa masyarakat  mengubah paradigma berpikir tentang belajar. Apakah belajar itu? Apakah tujuan belajar? Bagaimana upaya guru dan orangtua agar hasil belajar sesuai harapan atau setidaknya tidak melenceng terlalu jauh?

            “Sekolah di mana? Belajar yang rajin, ya!” Sering mendengar  pertanyaan tersebut? Atau malah sering melontarkannya? Secara tidak sadar, kita sedang menanamkan pada anak-anak bahwa belajar itu di sekolah. Makna belajar kemudian dibatasi oleh ruang dan waktu. Di suatu tempat, dengan kelas, guru, laboratorium, perpustakaan,  dan lain-lain.

            Konsep Merdeka Belajar yang digaungkan saat ini sesungguhnya berimbas pada  reposisi peran sekolah, keluarga, masyarakat. Posisi keluarga lebih penting, sementara sekolah dan masyarakat berfungsi untuk menguatkan  keluarga sebagai satuan pendidikan. Sebagai pilar utama, keluarga perlu memiliki kurikulum belajar sendiri yang relevan dengan perkembangan zaman . Situasi pandemi menuntut percepatan  penerapan Merdeka Belajar secara menyeluruh.

            Jika disebut kurikulum tingkat keluarga, jangan bayangkan konsep yang rumit dan kompleks. Kurikulum tersebut mendorong institusi keluarga menjadi tempat  bertumbuhnya  konsep belajar  yang meliputi  proses memaknai pengalaman mencakup empat hal: mengalami/praktik, berbicara, membaca dan menulis.

            Ketuntasan target kurikulum bukan lagi menjadi tujuan utama. Fokusnya adalah pada bagaimana anak menjalani belajar secara bermakna di dalam dan bersama keluarga.  Proses belajar  semakin berpusat pada anak yang memiliki aneka ragam ketertarikan, minat dan bakat.

            Saya berbincang dengan suami tentang bagaimana mengondisikan anak-anak selama enam bulan, jika benar-benar diterapkan pembelajaran jarak jauh. Kami perlu mencermati jadwal belajar yang ditentukan sekolah. Dengan patokan tersebut, rancangan proses pembelajaran dibuat sesederhana dan semenggairahkan mungkin untuk menumbuhkan keterampilan membaca, menulis, dan berbicara. Bukan sekadar mengerjakan dan mengumpulkan tugas.

            Reposisi peran ini harus dijalani dengan gembira. Jangan lagi ada orangtua yang mengeluh kerepotan dalam menemani anak belajar di rumah.  Kesulitan selama pandemi Covid 19 ini dialami oleh semua. Anak-anak jangan menjadi korban. Mereka adalah aset besar bangsa ini.  Jangan biarkan pandemi membuat  mereka benar-benar ‘rebahan’; tidak produktif karena  bermalas-malasan,   Ajarkan keterampilan hidup yang akan mendorong kemandirian dan  menunbuhkan mental belajar. Bahwa belajar bukan hanya berkutat di sekolah, hanya dari guru, dan buku.

            Masih ada enam bulan perjalanan ke depan.Para guru berjibaku dengan peran baru sebagai ‘guru new-normal’, maka kita, orang tua  justru bermetamorfosis ganda. Menjadi ‘orangtua new normal’ sekaligus ‘guru dan teman belajar’ bersama anak-anak. Jika peran ini dijalankan dengan baik, maka tak perlu ada keluhan sebagaimana pertanyaan di bagian awal tulisan . Dibantu oleh guru, anak dan orangtua bersinergi belajar. Pandemi ini adalah wasilah baik untuk kembali fokus pada mengukuhkan keluarga. 

    Selamat berjuang!

      

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.