REPOSISI PERAN
Tulisan ini juga dibuat saat pandemi. Tercatat tanggal 8 Mei 2021 pada folder.
![]() |
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-anak-anak-laki-laki-bocah-laki-laki-8457289/ |
“Apa yang harus dilakukan pada peserta didik yang
tidak mengumpulkan tugas?”
Pertanyaan
itu disampaikan dalam rapat kenaikan kelas bersama para wali kelas. Selama belajar jarak jauh,sekolah kami sudah
berusaha menfasilitasi guru dan peserta didik agar bisa tetap belajar dari
rumah. Guru diberi insentif pulsa, demikian juga peserta didik. Tujuannya
jelas: untuk mendukung proses pembelajaran jarak jauh yang banyak dilakukan
secara online.
Secara
praktik ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Beberapa guru masih belum
memiliki keterampilan TIK yang memadai. Untuk mengatasi itu, sekolah memberikan
pelatihan menggunakan salah satu aplikasi pembelajaran jarak jauh. Tentu dengan
menerapkan standar Covid 19 seperti pada umumnya: bermasker, jaga jarak aman,
jumlah peserta dibatasi.
Di
sisi peserta didik, tidak semua mengumpulkan tugas tepat waktu. Ada yang perlu
ditagih berkali-kali hingga melibatkan orang tua. Alasannya macam-macam.
Kehabisan pulsa, tidak punya kuota data, tidak tahu.
Pembelajaran
jarak jauh yang banyak dipilih adalah
melalui WA. Peserta didik diberi modul (atau menggunakan buku pelajaran yang dimiliki),
lalu diberi tugas. Cara ini dianggap
paling mudah, sebab guru tinggal memberikan instruksi untuk mempelajai
bab sekian halaman sekian. Kerjakan halaman sekian, tanggal sekian dikumpulkan.
Akhirnya yang terjadi adalah: pembelajaran jarak jauh identik dengan tugas
menumpuk.
Gawai
menjadi barang yang sanga penting. Dua
anak saya (karena masih usia SD dan SMP) belum punya gawai pribadi. Jam-jam
tertentu gawai saya dan milik suami berada di tangan mereka. Untuk mengunggah video
praktik, setor hafalan Al Quran, atau mengirim gambar tugas.
Belajar
dari rumah menjadi budaya baru. Terjadi reposisi peran guru dan orangtua.
Sebelum pandemi COvid 19, hari Senin sampai Jumat, dari pukul setengah tujuh
pagi hingga pukul tiga sore (kadang
sampai pukul lima sore), anak-anak berada di sekolah. Belajar bersama guru dan
teman-teman. Orangtua mengecek tugas dan mendampingi belajar di rumah pada
malam hari. Kini setiap hari, 24 jam, mereka bersama orangtua di rumah.
Kondisi
sekarang memaksa masyarakat mengubah
paradigma berpikir tentang belajar. Apakah belajar itu? Apakah tujuan belajar? Bagaimana
upaya guru dan orangtua agar hasil belajar sesuai harapan atau setidaknya tidak
melenceng terlalu jauh?
“Sekolah
di mana? Belajar yang rajin, ya!” Sering mendengar pertanyaan tersebut? Atau malah sering
melontarkannya? Secara tidak sadar, kita sedang menanamkan pada anak-anak bahwa
belajar itu di sekolah. Makna belajar kemudian dibatasi oleh ruang dan waktu.
Di suatu tempat, dengan kelas, guru, laboratorium, perpustakaan, dan lain-lain.
Konsep
Merdeka Belajar yang digaungkan saat ini sesungguhnya berimbas pada reposisi peran sekolah, keluarga, masyarakat.
Posisi keluarga lebih penting, sementara sekolah dan masyarakat berfungsi untuk
menguatkan keluarga sebagai satuan
pendidikan. Sebagai pilar utama, keluarga perlu memiliki kurikulum belajar sendiri
yang relevan dengan perkembangan zaman . Situasi pandemi menuntut
percepatan penerapan Merdeka Belajar
secara menyeluruh.
Jika
disebut kurikulum tingkat keluarga, jangan bayangkan konsep yang rumit dan
kompleks. Kurikulum tersebut mendorong institusi keluarga menjadi tempat bertumbuhnya
konsep belajar yang
meliputi proses memaknai pengalaman
mencakup empat hal: mengalami/praktik, berbicara, membaca dan menulis.
Ketuntasan
target kurikulum bukan lagi menjadi tujuan utama. Fokusnya adalah pada bagaimana
anak menjalani belajar secara bermakna di dalam dan bersama keluarga. Proses belajar semakin berpusat pada anak yang memiliki
aneka ragam ketertarikan, minat dan bakat.
Saya
berbincang dengan suami tentang bagaimana mengondisikan anak-anak selama enam
bulan, jika benar-benar diterapkan pembelajaran jarak jauh. Kami perlu
mencermati jadwal belajar yang ditentukan sekolah. Dengan patokan tersebut,
rancangan proses pembelajaran dibuat sesederhana dan semenggairahkan mungkin
untuk menumbuhkan keterampilan membaca, menulis, dan berbicara. Bukan sekadar mengerjakan dan mengumpulkan tugas.
Reposisi
peran ini harus dijalani dengan gembira. Jangan lagi ada orangtua yang mengeluh
kerepotan dalam menemani anak belajar di rumah.
Kesulitan selama pandemi Covid 19 ini dialami oleh semua. Anak-anak
jangan menjadi korban. Mereka adalah aset besar bangsa ini. Jangan biarkan pandemi membuat mereka benar-benar ‘rebahan’; tidak produktif
karena bermalas-malasan, Ajarkan keterampilan hidup yang akan
mendorong kemandirian dan menunbuhkan
mental belajar. Bahwa belajar bukan hanya berkutat di sekolah, hanya dari guru,
dan buku.
Masih ada enam bulan perjalanan ke depan.Para guru berjibaku dengan peran baru sebagai ‘guru new-normal’, maka kita, orang tua justru bermetamorfosis ganda. Menjadi ‘orangtua new normal’ sekaligus ‘guru dan teman belajar’ bersama anak-anak. Jika peran ini dijalankan dengan baik, maka tak perlu ada keluhan sebagaimana pertanyaan di bagian awal tulisan . Dibantu oleh guru, anak dan orangtua bersinergi belajar. Pandemi ini adalah wasilah baik untuk kembali fokus pada mengukuhkan keluarga.
Selamat berjuang!
Tidak ada komentar: