REBUTAN PACAR
![]() |
https://www.pexels.com/id-id/foto/notebook-grafik-putih-207756/ |
Jumat lalu,
20 September 2019, saya mendapat kesempatan berbagi tentang menulis fiksi anak
di Pendopo Kabupaten Jombang. Worokshop ini adalah rangkaian kegiatan ‘Jombang
Creative Week’ yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Jombang.
Yang
diundang adalah sekolah perwakilan tiap kecamatan. Ada 21 kecamatan, berarti ada
sedikitnya 21 siswa dan 21 guru. Sedikitnya, sebab konon katanya masing-masing
kecamatan dapat jatah dua siswa.
Kami diberi
waktu dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 11.00.
Waktu yang
pendek untuk sebuah workshop, karena yang dituntut adalah produk berupa buku
antologi. Apalagi ada dua pembicara; saya dan Bu Rialita Sastra. Jadi waktu
yang tiga jam itu perlu dibagi antara pemataran materi oleh dua narasumber dan
praktik.
Daaan…
Bertemu Bu Rialita ternyata cukup sulit. Jadwal kami berdua sering tidak cucok.
Akhirnya bisa bertemu sehari sebelum show. Kilat khusus pula. Kami berbagi
peran. Saya bicara tentang mencari ide, penokohan, setting, konflik; sementara
Bu Rialita memberikan pengetahuan tentang teknisnya. Mulai dari penulisan huruf
besar, penyusunan paragraph, tanda baca, dll. Beliau pakar di situ sebab asli
guru bahasa Indonesia. Kami tentukan jatah bicara masing-masing adalah tiga
puluh menit, sselebihnya praktik. Yap, begitu lebih baik. Workshop menulis yang utama itu bukan mendengarkan,
tapi me-nu-lis.
Esok pagi,
saya tiba sekian menit menjelang jam delapan. Sekian menitnya mepet tenan.
Sudah ada sekitar tujuh siswa dan tujuh pendamping. Dari Kecamatan Wonosalam,
Kecamatan Kudu, Kecamatan Bareng, Kecamatan Bandarkedungmulyo, Kecamatan
Kesamben, dll. Kecamatan yang jauh-jauh sudah standby, sementara yang dari
kecamatan Jombang sendiri belum hadir.
“Kita mulai
saja ya,” kata Pak Andhi, koordinator acara ini.
“Jadi ada
sambutan?”
“Kurang
tahu, tapi para panitia belum hadir.”
Betul, belum
tampak panitia. Layar dan LCD juga belum ada. Bahkan mikrofon juga belum mejeng
di meja. Pak Andhi ke belakang pendopo, entah menemui siapa. Lalu muncullah bapak
yang menyiapkan sound system.
“Tidak usah
pakai sambutan, ya?”
Saya setuju
sekali. Langsung ke materi saja, supaya
efektif.
Pak Andhi
memberikan pengantar, lalu mikrofon beralih ke saya. Belum siap LCD dan
layarnya. Saya perlu cari cara pengantar yang asyik walau tanpa tayangan slide.
Sekitar
sepuluh menit kemudian, datanglah orang-orang yang menyiapkan LCd itu.
Alhamdulillah, masyaaAllah. Terima kasih Bapak-Bapak yang baik, jazakumullah
khoir. Saya semakin bersemangat, sebab ppt yang saya siapkan ba’da shubuh bisa
ditayangkan. Sudah dicarikan ilustrasi
lucu-lucu jeh, eman kalau menganggur.
Serunya,
para guru tampak antusias juga. Mereka membuka buku tulis, mendengarkan dengan
khusyuk, dan mencata-catat.
Saya coba
menggali dan membangkitkan daya imajinasi anak-anak. Entah kenapa, anak-anak
itu demikian pendiam dan pasif. Mungkin saya terlalu formal ya, dan belum mampu
membuat mereka merasa nyaman. Atau mungkin sebab ada ibu guru di belakang
mereka, sehingga merasa diawasi. Saya jadi ingat siswa saya sendiri, di SMK.
Mirp begitu. Jika dipancing untuk bicara atau mengungkapkan pendapat,
takut-takut. Senyum-senyum, colek-colek sebelah. Maksud colekannya adalah
menyuruh teman sebelahnya berpendapat, dengan tujuan menyelamatkan posisinya.
Kalau sudah ada yang bicara kan guru
akan berhenti bertanya.
Setiap selesai satu poin, saya akan ajak mereka mengingat kembali bagian-bagiannya. Untuk memberikan penguatan. Satu demi satu peserta saya beri kesempatan bicara. Setiap mikrofon disodorkan mendekati mulut, badan mereka akan mundur secara spontan. Gerakan reflek pribadi yang kurang percaya diri.
Pada bagian
konflik, dimulai dengan mencari jenis-jenis konflik pada anak-anak. Saya berkeliling lagi. Begitu satu anak
menyebut, “Rebutan mainan,” maka rentetan berikutnya serupa.
“Rebutan
pensil.”
“Rebutan
bangku.”
“Rebutan penghapus.”
“Rebutan
buku.”
Sampailah
saya pada satu gadis yang manis, dengan seragam sedikit berbeda dari lainnya.
“Rebutan
pacar.”
What?
Saya diam
sekian detik. Bingung. Jawaban ini diluar ekspektasi.
Para guru
tetawa.
Saya perlu
berpikir cepat, menjaga perasaan gadis manis itu agar tidak down. Sekaligus
juga mengedukasi tentang kepantasan jenis konflik demikian.
Anak-anak itu masih bening fitrahnya. Perludijaga benar-benar agar beningnya sampai mereka memasuki usia akil-baligh. Rebutan pacar banyak tersebar di sinetron-sinetron atau bacan-bacaan remaja. Gencarnya kisah-kisah demikian akan membuat mereka berpikir; “Rebutan pacar itu biasa terjadi, normal, wajar.”
Maka pada
bagian akhir, pesan moral, pernyataan kami adalah: “Buatlah cerita yang akan
menginspirasi dan menggerakkan orang lain melakukan kebaikan, supaya tulisanmu
bernilai pahala di hadapan Allah SWT.”
Normatif
banget, ya.
Bagi yang
tidak setuju dengan pesan moral macam begitu akan menganggap cerita demikian
kental dengan nuansa menggurui.
Doakan,
semoga antologi cerita fiksi anak benar-benar terwujud.
Buku itu tidak pernah terwujud, alhamdulillah. Butuh kesungguhan ekstra untuk bisa mewujudkan menulis bersama.
Tidak ada komentar: