REBUTAN PACAR

Minggu, Maret 16, 2025
https://www.pexels.com/id-id/foto/notebook-grafik-putih-207756/

    Jumat lalu, 20 September 2019, saya mendapat kesempatan berbagi tentang menulis fiksi anak di Pendopo Kabupaten Jombang. Worokshop ini adalah rangkaian kegiatan ‘Jombang Creative Week’ yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jombang.

    Yang diundang adalah sekolah  perwakilan  tiap kecamatan. Ada 21 kecamatan, berarti ada sedikitnya 21 siswa dan 21 guru. Sedikitnya, sebab konon katanya masing-masing kecamatan dapat jatah dua siswa.

    Kami diberi waktu dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 11.00.

    Waktu yang pendek untuk sebuah workshop, karena yang dituntut adalah produk berupa buku antologi. Apalagi ada dua pembicara; saya dan Bu Rialita Sastra. Jadi waktu yang tiga jam itu perlu dibagi antara pemataran materi oleh dua narasumber dan praktik.

    Daaan… Bertemu Bu Rialita ternyata cukup sulit. Jadwal kami berdua sering tidak cucok. Akhirnya bisa bertemu sehari sebelum show. Kilat khusus pula. Kami berbagi peran. Saya bicara tentang mencari ide, penokohan, setting, konflik; sementara Bu Rialita memberikan pengetahuan tentang teknisnya. Mulai dari penulisan huruf besar, penyusunan paragraph, tanda baca, dll. Beliau pakar di situ sebab asli guru bahasa Indonesia. Kami tentukan jatah bicara masing-masing adalah tiga puluh menit, sselebihnya praktik. Yap, begitu lebih baik. Workshop  menulis yang utama itu bukan mendengarkan, tapi me-nu-lis.

    Esok pagi, saya tiba sekian menit menjelang jam delapan. Sekian menitnya mepet tenan. Sudah ada sekitar tujuh siswa dan tujuh pendamping. Dari Kecamatan Wonosalam, Kecamatan Kudu, Kecamatan Bareng, Kecamatan Bandarkedungmulyo, Kecamatan Kesamben, dll. Kecamatan yang jauh-jauh sudah standby, sementara yang dari kecamatan Jombang sendiri belum hadir.

    “Kita mulai saja ya,” kata Pak Andhi, koordinator acara ini.

    “Jadi ada sambutan?”

    “Kurang tahu, tapi para panitia belum hadir.”

    Betul, belum tampak panitia. Layar dan LCD juga belum ada. Bahkan mikrofon juga belum mejeng di meja. Pak Andhi ke belakang pendopo, entah menemui siapa. Lalu muncullah bapak yang menyiapkan sound system.

    “Tidak usah pakai sambutan, ya?”

    Saya setuju sekali. Langsung ke materi saja, supaya  efektif.

    Pak Andhi memberikan pengantar, lalu mikrofon beralih ke saya. Belum siap LCD dan layarnya. Saya perlu cari cara pengantar yang asyik walau tanpa tayangan slide.

    Sekitar sepuluh menit kemudian, datanglah orang-orang yang menyiapkan LCd itu. Alhamdulillah, masyaaAllah. Terima kasih Bapak-Bapak yang baik, jazakumullah khoir. Saya semakin bersemangat, sebab ppt yang saya siapkan ba’da shubuh bisa ditayangkan.  Sudah dicarikan ilustrasi lucu-lucu jeh, eman kalau menganggur.

    Serunya, para guru tampak antusias juga. Mereka membuka buku tulis, mendengarkan dengan khusyuk, dan mencata-catat.

    Saya coba menggali dan membangkitkan daya imajinasi anak-anak. Entah kenapa, anak-anak itu demikian pendiam dan pasif. Mungkin saya terlalu formal ya, dan belum mampu membuat mereka merasa nyaman. Atau mungkin sebab ada ibu guru di belakang mereka, sehingga merasa diawasi. Saya jadi ingat siswa saya sendiri, di SMK. Mirp begitu. Jika dipancing untuk bicara atau mengungkapkan pendapat, takut-takut. Senyum-senyum, colek-colek sebelah. Maksud colekannya adalah menyuruh teman sebelahnya berpendapat, dengan tujuan menyelamatkan posisinya. Kalau sudah ada yang  bicara kan guru akan berhenti bertanya.

    Setiap selesai satu poin, saya akan ajak mereka mengingat kembali bagian-bagiannya. Untuk memberikan penguatan. Satu demi satu peserta saya beri kesempatan bicara. Setiap mikrofon disodorkan mendekati mulut, badan mereka akan mundur secara spontan.  Gerakan reflek pribadi yang kurang  percaya diri.

    Pada bagian konflik, dimulai dengan mencari jenis-jenis konflik pada anak-anak.  Saya berkeliling lagi. Begitu satu anak menyebut, “Rebutan mainan,” maka rentetan berikutnya serupa.

“Rebutan pensil.”

“Rebutan bangku.”

“Rebutan  penghapus.”

“Rebutan buku.”

Sampailah saya pada satu gadis yang manis, dengan seragam sedikit berbeda dari lainnya.

“Rebutan pacar.”

    What?

    Saya diam sekian detik. Bingung. Jawaban ini diluar ekspektasi.

    Para guru tetawa.

    Saya perlu berpikir cepat, menjaga perasaan gadis manis itu agar tidak down. Sekaligus juga mengedukasi tentang kepantasan jenis konflik demikian.

 

    Anak-anak itu masih bening fitrahnya. Perludijaga  benar-benar agar beningnya sampai mereka memasuki usia akil-baligh. Rebutan pacar banyak tersebar di sinetron-sinetron atau bacan-bacaan remaja. Gencarnya kisah-kisah demikian akan membuat mereka berpikir; “Rebutan pacar itu biasa terjadi, normal, wajar.”

    Maka pada bagian akhir, pesan moral, pernyataan kami adalah: “Buatlah cerita yang akan menginspirasi dan menggerakkan orang lain melakukan kebaikan, supaya tulisanmu bernilai pahala di hadapan Allah SWT.”

    Normatif banget, ya.

    Bagi yang tidak setuju dengan pesan moral macam begitu akan menganggap cerita demikian kental dengan nuansa menggurui.

     Gadis manis itu punya kesempatan banyak untuk berlatih mencari konflik dan meramunya dalam tulisan. Bersama teman-teman lain. Mereka punya waktu hampir dua pekan untuk  menghasilkan karya dan setor.

    Doakan, semoga antologi cerita fiksi anak benar-benar terwujud.

 

 Enbe:

Buku itu tidak pernah terwujud, alhamdulillah. Butuh kesungguhan ekstra untuk bisa mewujudkan menulis bersama. 

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.