MENEGUHKAN NILAI

Jumat, Maret 07, 2025

 

Seorang siswi di sebuah sekolah negeri, tertangkap basah oleh Bu Yani (nama samaran) melanggar peraturan ujian. Ia membawa serta telepon genggam dan mengoperasikan saat ujian. Bu Yani  menyimpan telepon genggam itu. Boleh diambil dengan syarat  orang tua harus ke sekolah.

Foto dari Shutterstock


Orang tua benar  datang. Bukan untuk minta maaf apalagi mengakui kesalahan putrinya. Mereka marah-marah, bergantian melontarkan berbagai kecaman  atas sikap  Bu Yani.

“Anak saya merasa dipermalukan!”

“Ibu menyudutkan anak saya di depan teman-temannya!”

“Bagaimana jika anak kami psikisnya terganggu?”

“Bagaimana jika anak kami takut masuk sekolah akibat ini semua?”

Bisa dibayangkan, seperti apa nada, intonasi,  dan lagak gerak-geriknya.

Apa yang dilakukan Bu Yani? Ia beri kesempatan kedua orang tua yang emosional itu untuk  luapkan seluruh uneg-uneg. Ia mendengar  tanpa menyela. Sampai titik tertentu, kedua orang tua itu diam.

“Sudah selesai? Sekarang gantian saya yang akan bicara.” Tak banyak cakap, Bu Yani mengeluarkan selembar kertas berisi tata tertib ujian.  Satu nomor telah dilingkari.

“Ini peraturan ujian bagi siswa. Sudah kami bagi di grup, sudah kami sampaikan secara lisan, juga sudah kami cetak. Tidak perlu membaca seluruh bagian, Panjenengan  akan pusing. Baca saja yang telah saya tandai. Putri Panjenengan telah melanggar aturan.”

Selesai? Tidak. Protes  terus berlanjut. Poin-poin di atas masih juga diulang-ulang orang tua. Putrinya dipanggil dan  hanya bisa menangis. Situasi demikian semakin dimanfaatkan untuk mengulangi kecaman. Ditambah dengan ancaman untuk melaporkan  Bu Yani.

Hari berikutnya, siswi itu mengajukan permohonan agar ruang ujiannya tidak diawasi oleh Bu Yani. Tentu saja para guru keheranan. Bagaimana bisa?

**

Bagaimana bisa? Mari bicara sebagai orang tua.

Kasih sayang orang tua seperti dua sisi mata uang: satu bagian positif, satu bagian negatif. Limpahan cinta dengan niat, cara, dan tujuan  yang tepat, memunculkan sosok yang terdidik dan berkarakter.

Tedidik dan berkarakter  dalam arti luas dan dalam. Anak-anak dapat beradaptasi dengan dinamika lingkungan tanpa meninggalkan nilai kemanusiaannya. Seluruh potensi diri, baik fisik, ruh, atau akalmya, dicurahkan seluas-luasnya untuk menegakkan tugas sebagai khalifah, atau pengelola di muka bumi. Yaitu memakmurkan penduduk bumi, menegakkan kebnaran dan memberantas kezaliman.

**

Dari kejadian itu, ada dua hal yang perlu digarisbawahi.

Pertama, orang tua itu melampaui batas, menjadi cermin buruk bagi putrinya. Mereka pintar mencari argumen untuk menyerang orang lain dari sisi lain. Kesalahan menyontek tidak diangkat, malah fokus pada ‘melukai secara psikis’. Itu hanyalah cara licik untuk mengaburkan inti permasalah dengan mengalihkan isu pada titik lain yang tidak substansial.

Orang tua mengajarkan anak melempar kesalahan pada orang lain. Bahwa teguran yang dianggap ‘mempermalukan’ itu adalah konsekwensi logis dari kesalahan, tidak masuk hitungan. Yang penting lempar kesalahan dulu. Yang penting tutupi, samarkan dengan tudingan lain pada pihak lawan untuk membelokkan arah fokus.

Tidak ada proses diskusi dan bertukar pikiran yang sehat dan positif bagi kebaikan karakter putri. Tidak ada pelajaran mendengar secara aktif dan produktif bagi perbaikan moral. Orng tua macam begini sudah menunjukkan praktik langsung bagaimana lari dari kesalahan.

Kedua, orang tua tidak peduli pada penegakan kejujuran dalam diri sang putri. Terang benderang sang putri keliru, melanggar peraturan, melakukan kecurangan. Lancung.

Ah, ini cuma sekadar menyontek. Hampir semua pelajar melakukan itu. Lumrah, biasa, tak perlu dilebih-lebihkan.

Inilah normalisasi. Menganggap benar kesalahan karena kuantitas pelakunya. Banyak yang mempraktrikkan, berarti sah dan boleh.

Ketiga,  orang tua sombong. Anak pintar, hendak masuk kedokteran. Fakultas bergengsi yang membutuhkan banyak biaya. Mereka menegaskan status sosial untuk menguatkan harga diri. Sebuah sandaran yang rapuh.

**

Dalam keluarga, orang tua pemegang kunci. Sosok orang tua adalah contah kongkrit tentang nilai yang ditumbuhkan dalam keluarga. Tak perlu berteori panjang lebar, anak  meniru apa yang orang tua lakukan.

Orang tua berdusta, anak akan menyerap nilai ‘boleh berdusta’.

Oang tua menyatakan pendapat sambl berteriak, anak akan menyimpan  nilai ‘berteriak kencang itu perlu’.

Orang tua menyelesaikan masalah dengan kekerasan, anak akan mencontoh nilai ‘kekerasan itu solusi’.

Orang tua membanggakan statusnya secara pongah, anak akan menyesap nilai “status sosial itu sandaran harga diri’.

**

Bulan Ramadhan adalah bulan semangat beramal. Kita lihat masjid penuh, suara tilawah sahut menyahut, dan mudah bersedekah. Inilah bulan baik bagi setiap keluarga untuk kembali merevisi nilai yang diteguhkan di rumah. Bulan berkah untuk mengevaluasi kelurusan niat dan amal dalam kerangka kebaikan dan perbaikan. Bersama-sama, berjamaah, dengan cita-cita besar dan agung: masuk surga bersama orang-orang yang dicintai.

Inilah bulan tepat untuk meneguhkan visi besar. Bahwa Allah Subahanhu waTa’ala memberikan kehidupan  dan kematian untuk satu hal saja: melihat siapa yang paling baik amalnya.

Tanamkan semangat beramal baik. Kukuhkan keinginan melakukan perbaikan. Nasihat menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Luruskan yang bengkok, kuatkan yang benar. Hanya dengan cara itu, insyaaAllah sekeluarga selamat. Bahagia dunia akhirat.

Selamat berpuasa. Kembali pada keluarga, mari teguhkan nilai.

Wallahu'alam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.