MENEGUHKAN NILAI
Seorang siswi di
sebuah sekolah negeri, tertangkap basah oleh Bu Yani (nama samaran) melanggar
peraturan ujian. Ia membawa serta telepon genggam dan mengoperasikan saat
ujian. Bu Yani menyimpan telepon genggam
itu. Boleh diambil dengan syarat orang
tua harus ke sekolah.
![]() |
Foto dari Shutterstock |
Orang tua
benar datang. Bukan untuk minta maaf
apalagi mengakui kesalahan putrinya. Mereka marah-marah, bergantian melontarkan
berbagai kecaman atas sikap Bu Yani.
“Anak saya merasa dipermalukan!”
“Ibu menyudutkan anak saya di depan teman-temannya!”
“Bagaimana jika anak kami psikisnya terganggu?”
“Bagaimana jika anak kami takut masuk sekolah akibat
ini semua?”
Bisa dibayangkan,
seperti apa nada, intonasi, dan lagak gerak-geriknya.
Apa yang dilakukan
Bu Yani? Ia beri kesempatan kedua orang tua yang emosional itu untuk luapkan seluruh uneg-uneg. Ia mendengar tanpa menyela. Sampai titik tertentu, kedua
orang tua itu diam.
“Sudah selesai? Sekarang gantian saya yang akan
bicara.” Tak banyak cakap, Bu Yani mengeluarkan selembar kertas berisi tata
tertib ujian. Satu nomor telah
dilingkari.
“Ini peraturan ujian bagi siswa. Sudah kami bagi di
grup, sudah kami sampaikan secara lisan, juga sudah kami cetak. Tidak perlu
membaca seluruh bagian, Panjenengan akan
pusing. Baca saja yang telah saya tandai. Putri Panjenengan telah melanggar
aturan.”
Selesai? Tidak. Protes
terus berlanjut. Poin-poin di atas masih
juga diulang-ulang orang tua. Putrinya dipanggil dan hanya bisa menangis. Situasi demikian semakin
dimanfaatkan untuk mengulangi kecaman. Ditambah dengan ancaman untuk
melaporkan Bu Yani.
Hari berikutnya,
siswi itu mengajukan permohonan agar ruang ujiannya tidak diawasi oleh Bu Yani.
Tentu saja para guru keheranan. Bagaimana bisa?
**
Bagaimana bisa?
Mari bicara sebagai orang tua.
Kasih sayang orang
tua seperti dua sisi mata uang: satu bagian positif, satu bagian negatif.
Limpahan cinta dengan niat, cara, dan tujuan yang tepat, memunculkan sosok yang terdidik
dan berkarakter.
Tedidik dan
berkarakter dalam arti luas dan dalam.
Anak-anak dapat beradaptasi dengan dinamika lingkungan tanpa meninggalkan nilai
kemanusiaannya. Seluruh potensi diri, baik fisik, ruh, atau akalmya, dicurahkan
seluas-luasnya untuk menegakkan tugas sebagai khalifah, atau pengelola di muka
bumi. Yaitu memakmurkan penduduk bumi, menegakkan kebnaran dan memberantas
kezaliman.
**
Dari kejadian itu,
ada dua hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, orang tua
itu melampaui batas, menjadi cermin buruk bagi putrinya. Mereka pintar mencari
argumen untuk menyerang orang lain dari sisi lain. Kesalahan menyontek tidak
diangkat, malah fokus pada ‘melukai secara psikis’. Itu hanyalah cara licik
untuk mengaburkan inti permasalah dengan mengalihkan isu pada titik lain yang
tidak substansial.
Orang tua
mengajarkan anak melempar kesalahan pada orang lain. Bahwa teguran yang
dianggap ‘mempermalukan’ itu adalah konsekwensi logis dari kesalahan, tidak
masuk hitungan. Yang penting lempar kesalahan dulu. Yang penting tutupi,
samarkan dengan tudingan lain pada pihak lawan untuk membelokkan arah fokus.
Tidak ada proses
diskusi dan bertukar pikiran yang sehat dan positif bagi kebaikan karakter
putri. Tidak ada pelajaran mendengar secara aktif dan produktif bagi perbaikan
moral. Orng tua macam begini sudah menunjukkan praktik langsung bagaimana lari
dari kesalahan.
Kedua, orang tua
tidak peduli pada penegakan kejujuran dalam diri sang putri. Terang benderang
sang putri keliru, melanggar peraturan, melakukan kecurangan. Lancung.
Ah, ini cuma sekadar menyontek. Hampir semua pelajar
melakukan itu. Lumrah, biasa, tak perlu dilebih-lebihkan.
Inilah
normalisasi. Menganggap benar kesalahan karena kuantitas pelakunya. Banyak yang
mempraktrikkan, berarti sah dan boleh.
Ketiga, orang tua sombong. Anak pintar, hendak masuk
kedokteran. Fakultas bergengsi yang membutuhkan banyak biaya. Mereka menegaskan
status sosial untuk menguatkan harga diri. Sebuah sandaran yang rapuh.
**
Dalam keluarga,
orang tua pemegang kunci. Sosok orang tua adalah contah kongkrit tentang nilai
yang ditumbuhkan dalam keluarga. Tak perlu berteori panjang lebar, anak meniru apa yang orang tua lakukan.
Orang tua
berdusta, anak akan menyerap nilai ‘boleh berdusta’.
Oang tua
menyatakan pendapat sambl berteriak, anak akan menyimpan nilai ‘berteriak kencang itu perlu’.
Orang tua
menyelesaikan masalah dengan kekerasan, anak akan mencontoh nilai ‘kekerasan
itu solusi’.
Orang tua
membanggakan statusnya secara pongah, anak akan menyesap nilai “status sosial
itu sandaran harga diri’.
**
Bulan Ramadhan
adalah bulan semangat beramal. Kita lihat masjid penuh, suara tilawah sahut
menyahut, dan mudah bersedekah. Inilah bulan baik bagi setiap keluarga untuk
kembali merevisi nilai yang diteguhkan di rumah. Bulan berkah untuk
mengevaluasi kelurusan niat dan amal dalam kerangka kebaikan dan perbaikan.
Bersama-sama, berjamaah, dengan cita-cita besar dan agung: masuk surga bersama
orang-orang yang dicintai.
Inilah bulan tepat
untuk meneguhkan visi besar. Bahwa Allah Subahanhu waTa’ala memberikan
kehidupan dan kematian untuk satu hal
saja: melihat siapa yang paling baik amalnya.
Tanamkan semangat
beramal baik. Kukuhkan keinginan melakukan perbaikan. Nasihat menasihati dalam
kebaikan dan kesabaran. Luruskan yang bengkok, kuatkan yang benar. Hanya dengan
cara itu, insyaaAllah sekeluarga selamat. Bahagia dunia akhirat.
Selamat berpuasa. Kembali pada keluarga, mari teguhkan nilai.
Wallahu'alam bishshawab.
Tidak ada komentar: