MARI BERSETERU
Dari 12 bulan, ada satu
bulan rehat bagi kaum muslimin dan muslimat sedunia. Bulan Ramadhan. Semua kaum
mukmin menyambut suka cita. Ada yang memasang targat khatam sekian kali. Ada
juga yang bertekad membaca sekian judul buku karangan ulama mashur. Atau
berazam membaca zikr tertentu. Ragam amal shalih seolah menjadi ringan untuk
dilakukan. Atmosfir Ramadhan memang khas, unik, memberi semangat lain yang
tdiak didapatkan di bulan-bulan lain.
Jika mengingat kembali Ramadhan terdahulu, barangkali ada
yang merasa menyesal. Pemahaman yang keliru, ilmu yang kurang memadai, membuat Ramadhan-Ramadhan
terdahulu berlalu begitu saja. Lapar haus sekadar penanda puasa. Maksiat lain
jalan terus. Salat tarawih sekadar mendapatkan jumlah rakaat. Keburukan tetap
melaju kencang.
Bagaimana jika ini Ramadhan terakhir?
Pertanyaan sejenis sering melintas begitu Ramadhan hendak
mencapai ujung. Semakin banyak umur, semakin dekat garis akhir. Batas yang tak
pernah nampak tandanya. Cobalah tengok kanan kiri. Berapa kerabat yang telah
berpulang. Berapa teman yang nisannya telah terpasang. Berapa tetangga yang
sosoknya telah hilang.
Bagaimana jika ini Ramadhan terakhir?
Doa-doa yang dilantunkan, seberapa kuat hati
menggaungkan? Zikir-zikir yang dibisikkan, seberapa dalam hati meresapi?
Ayat-ayat yang ditadaburi, seberapa liat mengubah visi dan misi hidup ke arah
yang Allah ridhoi?
Bagaimana jika ini Ramadhan terakhir?
Bukan untuk menakut-nakuti atau menumbuhkan rasa pesimis
dalam diri. Memikirkan kematian adalah ciri kecerdasan, sebagaimana yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan. Menyadari kematian berbasis
ilmu akan mendorong hati menyiapkan dengan sebaik-baik bekal.
Di bulan penuh berkah, layak
jika bersungguh-sungguh memohon ampun melalui taubat, meminta kekuatan agar
senantiasa taat, berharap didekatkan pada sesiapa yang tidak enggan memberikan
nasihat. Diri yang waspada dan teman yang menjaga merupakan kombinasi yang pas
untuk mempertahankan standar ketaatan pada level yang tepat. Level yang
menghasilkan produktivitas amal berkesinambungan.
Bulan baik ini, mari berseteru
dengan kemaksiatan. Berseteru dengan
sakit hati, dendam, amarah, kecewa yang tak berkesudahan. Emosi negatif
itu layak disingkirkan karena melukai kemuliaan jiwa.
Ibnul Qayyim menuliskan,
ahli maksiat tidak mendapat balasan seorang mukmin. Orang yang tidak berteman
dengan orang beriman, sesungguhnya kehilangan pembelaan Allah. Karena Allah
senantiasa membela dan melindungi orang yang beriman.
Ahli maksiat membuka pintu
kesedihan. Dosa membuat ikatan hati dengan Allah subhanahu wata’ala melemah,
menghalagi, bahkan menghentikan. Dosa
membuat hati sakit, sehingga kehabisan energi untuk berjalan mendekati Allah
subhanahu wata’ala.
Ahli maksiat mengecilkan
jiwanya. Noktah dosa menghinakan diri, menginjak-nginjak kemanusiaannya dan
menjadi tidak berharga. Maksiat terjadi sebab akalnya melemah. Akal yang
dimaksud di sini adalah akal yang bersandar pada aqidah yang kukuh. Bukan
sekadar ukuran intelejensi saja, Hilangnya akal, merajanya nafsu, menggiring
manusia kehilangan harga diri.
Jadi, mari sambut dan isi momen Ramadhan dengan sebaik-baik amal. Berseteru sepenuhnya dengan
maksiat, menguatkan ketaatan dan mengencangkan taubat. Tak perlu berangan-angan
tentang kesempatan Ramadhan berikutnya. Yang dihadapi, itu yang diisi. Siapa
tahu memang benar, ini Ramadhan terakhir kita. Wallahu’alam bish shawab.
Tidak ada komentar: