MARI BERSETERU

Kamis, Maret 06, 2025

 

Dari 12 bulan, ada satu bulan rehat bagi kaum muslimin dan muslimat sedunia. Bulan Ramadhan. Semua kaum mukmin menyambut suka cita. Ada yang memasang targat khatam sekian kali. Ada juga yang bertekad membaca sekian judul buku karangan ulama mashur. Atau berazam membaca zikr tertentu. Ragam amal shalih seolah menjadi ringan untuk dilakukan. Atmosfir Ramadhan memang khas, unik, memberi semangat lain yang tdiak didapatkan di bulan-bulan lain.

            Jika mengingat kembali Ramadhan terdahulu, barangkali ada yang merasa menyesal. Pemahaman yang keliru, ilmu yang kurang memadai, membuat Ramadhan-Ramadhan terdahulu berlalu begitu saja. Lapar haus sekadar penanda puasa. Maksiat lain jalan terus. Salat tarawih sekadar mendapatkan jumlah rakaat. Keburukan tetap melaju kencang.

            Bagaimana jika ini Ramadhan terakhir?

            Pertanyaan sejenis sering melintas begitu Ramadhan hendak mencapai ujung. Semakin banyak umur, semakin dekat garis akhir. Batas yang tak pernah nampak tandanya. Cobalah tengok kanan kiri. Berapa kerabat yang telah berpulang. Berapa teman yang nisannya telah terpasang. Berapa tetangga yang sosoknya telah hilang.

            Bagaimana jika ini Ramadhan terakhir?

            Doa-doa yang dilantunkan, seberapa kuat hati menggaungkan? Zikir-zikir yang dibisikkan, seberapa dalam hati meresapi? Ayat-ayat yang ditadaburi, seberapa liat mengubah visi dan misi hidup ke arah yang Allah ridhoi?

            Bagaimana jika ini Ramadhan terakhir?

            Bukan untuk menakut-nakuti atau menumbuhkan rasa pesimis dalam diri. Memikirkan kematian adalah ciri kecerdasan, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan. Menyadari kematian berbasis ilmu akan mendorong hati menyiapkan dengan sebaik-baik bekal.

Di bulan penuh berkah, layak jika bersungguh-sungguh memohon ampun melalui taubat, meminta kekuatan agar senantiasa taat, berharap didekatkan pada sesiapa yang tidak enggan memberikan nasihat. Diri yang waspada dan teman yang menjaga merupakan kombinasi yang pas untuk mempertahankan standar ketaatan pada level yang tepat. Level yang menghasilkan produktivitas amal berkesinambungan.




Bulan baik ini, mari berseteru dengan kemaksiatan. Berseteru dengan  sakit hati, dendam, amarah, kecewa yang tak berkesudahan. Emosi negatif itu layak disingkirkan karena melukai kemuliaan jiwa.

Ibnul Qayyim menuliskan, ahli maksiat tidak mendapat balasan seorang mukmin. Orang yang tidak berteman dengan orang beriman, sesungguhnya kehilangan pembelaan Allah. Karena Allah senantiasa membela dan melindungi orang yang beriman.

Ahli maksiat membuka pintu kesedihan. Dosa membuat ikatan hati dengan Allah subhanahu wata’ala melemah, menghalagi, bahkan menghentikan.  Dosa membuat hati sakit, sehingga kehabisan energi untuk berjalan mendekati Allah subhanahu wata’ala.

Ahli maksiat mengecilkan jiwanya. Noktah dosa menghinakan diri, menginjak-nginjak kemanusiaannya dan menjadi tidak berharga. Maksiat terjadi sebab akalnya melemah. Akal yang dimaksud di sini adalah akal yang bersandar pada aqidah yang kukuh. Bukan sekadar ukuran intelejensi saja, Hilangnya akal, merajanya nafsu, menggiring manusia kehilangan harga diri.

Jadi, mari sambut  dan isi momen Ramadhan dengan  sebaik-baik amal. Berseteru sepenuhnya dengan maksiat, menguatkan ketaatan dan mengencangkan taubat. Tak perlu berangan-angan tentang kesempatan Ramadhan berikutnya. Yang dihadapi, itu yang diisi. Siapa tahu memang benar, ini Ramadhan terakhir kita. Wallahu’alam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.