KERANJINGAN BELAJAR

Senin, Maret 10, 2025

 

‘Obat dari rasa bosan adalah rasa ingin tahu.’


                “Ayo belajar! Ambil buku. Kerjakan pe-ernya!”

                “Main terus, kapan belajar?”

                Coba pikir, berapa kali dalam sehari kalimat di atas diucapkan pada anak-anak? Berapa kali dalam sepekan? Berapa kali dalam sebulan, setahun?  Anak-anak bisa jadi hafal kalimat itu kata per kata, beserta intonasi juga. Atau jangan-jangan mimik kita pun ditirunya dengan baik. Komplit!

                Sesekali tanyakan: apa yang mereka pikirkan tentang belajar? Perasaan apa yang menyertainya? Ajak mereka membuat daftar secara jujur: tertekan. Bosan. Jenuh. Takut. Gembira. Bahagia. Senang. Semangat. Lelah. Ngantuk. Apa lagi, kira-kira?  Daftar jujur itu akan menjadi bahan evaluasi bagi kita, orang  tua. Untuk apa? Untuk merefleksikan keberhasilan kita membuat anak keranjingan belajar.

                Belajar merupakan kebutuhan mendasar manusia agar bisa meningkatkan kualitas hidup. Seiring dengan waktu, umur bertambah, masalah juga meningkat. Kearifan dan kebijaksanaan yang dilandasi pengetahuan, kemanusiaan, dan keadilan, berpotensi menjadikan seseorang sebagai ‘problem-solver’, alias pemecah masalah. Pengetahuan di atas nilai agama menjadi cahaya. Agama ditopang pengetahuan akan menggerakkan kemajuan yang beradab. Kemajuan yang menghormati fitrah manusia serta meninggikan nilai kemanusiaan.

                Perhatikan sebaik-baiknya, bagaimana kejayaan masa lalu lungsur karena rusaknya moral budi.  Mereka punya gedung menjulang, pasar yang ramai, namun kebiasaan masyarakatnya lekat dengan maksiat. Berjudi, minum khmar, riba, pelacuran/seks bebas, berbuat curang dalam berdagang. Jenis-jenis dosa itu bisa dikatakan ‘dosa standar’ sebuah masyarakat bobrok.

Ilmu merupakan keistimewaan bagi manusia. Ilmu menjadi mulia karena ia menjadi wasilah menuju kebaikan dan ketakwaan. Landasan berpikir tentang ilmu inilah yang patut menjadi prioritas untuk ditanamkan dalam diri anak-anak kita. Mereka harus tahu, paham, dan sadar bahwa kelelahan mereka dalam belajar berdasar pada pemikiran besar. Bukan sekadar mencari nilai. Bukan hanya mengejar peringkat pertama. Bukan cuma menjadi kebanggaan sesaat karena gelar, capaian, dan lain-lain. Sangkutkan pada visi besar: ilmu yang dipunya, sebesar apa bermanfaat bagi kemanusiaan, kebenaran, dan dakwah?

Mengapa selalu dakwah? Sebab hakikat kehidupan yang selamat  dan tidak merugi yaitu manakala ‘saling menasihati dalam kebenaran, saling menasihati dalam kesabaran’. Kegiatan saling itu merupakan kegiatan dakwah. Dari lingkup yang sederhana hingga yang lebih kompleks.

Bagaimana membuat anak memiliki visi besar itu? InsyaaAllah tips di bawah ini bisa membantu mengarahkan.

https://pixabay.com/id/photos/perpustakaan-la-trobe-belajar-siswa-1400313/


Pertama, tanamkan dan nasihatkan berulang agar meluruskan niat. Apakah anak usia SD bisa diajak berpikir demikian? Sangat bisa. Justru pada saat usia dini, fitrah mereka masih terjaga, insyaaAllah mudah memasukkan nilai-nilai besar dalam benak. Niatkan menuntut ilmu sebagai bagian mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Sebagai manusia, mereka punya kelebihan besar yang menjadi pembeda utama dengan hewan: akal.

Kedua, momen apa pun, kaitkan dengan ilmu. Modal besar untuk membiasakan ini hanya satu: orang tua harus banyak membaca. Berat? Tentu saja. Bukankah menanam hal besar perlu usaha besar pula? Kita sedang membentuk sosok masa depan, calon pelaku zaman mendatang. Jangan berharap hasil baik dari usaha ecek-ecek.

Ketiga, jadikan buku dan membaca sebagai kebutuhan. Sering sekali saya mendapatkan keluhan dari para ibu begini: “Susah, kalah saingan dengan hp.” Tentu saja susah, karena sejak awal ayah dan bunda tidak suka membaca! Bagaimana bisa mengharapkan anak suka membaca, akrab dengan buku, terbiasa dengan buku, jika lingkungannya tidak dibentuk? Jangan menyalahkan gawai dahulu. Telisik di rumah, berapa banyak buku dimiliki? Berapa sering anak-anak diajak beli buku? Seberapa bagus orang tua mencontohkan membaca?

Keempat, terlibatlah dalam kegiatan sekolah anak. Terlibat bukan berarti intervensi. Keterlibatan level sederhana adalah menanyakan: “Tadi apa saja yang dilakukan di sekolah? Gembira? Senang? Ada masalah?” Pertanyaan itu akan memantik cerita, baik panjang atau pendek. Responlah dengan santai, tenang, hindari nasihat berkepanjangan. Just listen, dengarkan. Tidak semua kejadian perlu disikapi dengan petuah-petuah. Kadang bisa ditanya balik: “Menurut kamu, bagaimana?” Dari situ, kita bisa menggali perasaan dan pemikian anak.

Kelima, selesaikan masalah belajar. Menyelesaikan masalah  belajar dimulai dari kesadaran utuh akan adanya masalah. Tuntun anak untuk mendeteksi dini dalam diri mereka, bahwa mereka sedang punya masalah belajar, dan butuh bantuan untuk menyelesaikannya.

Keenam, luangkan refresh. Bersantai bersama. Bergembira bersama. Lepas dulu dari urusan tugas, ulangan, pembicaraan seputar hal-hal itu. Dengan refresh bersama, Anda punya waktu menguatkan kembali kehangatan antaranggota keluarga.

Urusan keranjingan belajar itu urusan membangun mental belajar. Mentalnya, motivasinya. Memelihara motivasi  dan mental belajar erat kaitannya dengan ketahanan menanggung beban. Motivasi tinggi, insyaaAllah akan membuatnya  lebih kuat untuk  menanggung beban masalah. Itulah tujuan belajar yang sesungguhnya: mampu memecahkan masalah kehidupan. Fungsi ilmu adalah untuk memecahkan masalah kehidupan dengan cara yang tepat, yaitu agama.

Wallahu'alam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.