KERANJINGAN BELAJAR
‘Obat dari rasa
bosan adalah rasa ingin tahu.’
“Ayo belajar! Ambil buku. Kerjakan pe-ernya!”
“Main terus, kapan belajar?”
Coba
pikir, berapa kali dalam sehari kalimat di atas diucapkan pada anak-anak?
Berapa kali dalam sepekan? Berapa kali dalam sebulan, setahun? Anak-anak bisa jadi hafal kalimat itu kata
per kata, beserta intonasi juga. Atau jangan-jangan mimik kita pun ditirunya
dengan baik. Komplit!
Sesekali
tanyakan: apa yang mereka pikirkan tentang belajar? Perasaan apa yang menyertainya?
Ajak mereka membuat daftar secara jujur: tertekan. Bosan. Jenuh. Takut.
Gembira. Bahagia. Senang. Semangat. Lelah. Ngantuk. Apa lagi, kira-kira? Daftar jujur itu akan menjadi bahan evaluasi
bagi kita, orang tua. Untuk apa? Untuk
merefleksikan keberhasilan kita membuat anak keranjingan belajar.
Belajar
merupakan kebutuhan mendasar manusia agar bisa meningkatkan kualitas hidup.
Seiring dengan waktu, umur bertambah, masalah juga meningkat. Kearifan dan
kebijaksanaan yang dilandasi pengetahuan, kemanusiaan, dan keadilan, berpotensi
menjadikan seseorang sebagai ‘problem-solver’,
alias pemecah masalah. Pengetahuan di atas nilai agama menjadi cahaya. Agama
ditopang pengetahuan akan menggerakkan kemajuan yang beradab. Kemajuan yang
menghormati fitrah manusia serta meninggikan nilai kemanusiaan.
Perhatikan sebaik-baiknya, bagaimana kejayaan masa lalu lungsur karena rusaknya moral budi. Mereka punya gedung menjulang, pasar yang ramai, namun kebiasaan masyarakatnya lekat dengan maksiat. Berjudi, minum khmar, riba, pelacuran/seks bebas, berbuat curang dalam berdagang. Jenis-jenis dosa itu bisa dikatakan ‘dosa standar’ sebuah masyarakat bobrok.
Ilmu merupakan keistimewaan bagi
manusia. Ilmu menjadi mulia karena ia menjadi wasilah menuju kebaikan dan ketakwaan.
Landasan berpikir tentang ilmu inilah yang patut menjadi prioritas untuk ditanamkan
dalam diri anak-anak kita. Mereka harus tahu, paham, dan sadar bahwa kelelahan
mereka dalam belajar berdasar pada pemikiran besar. Bukan sekadar mencari
nilai. Bukan hanya mengejar peringkat pertama. Bukan cuma menjadi kebanggaan
sesaat karena gelar, capaian, dan lain-lain. Sangkutkan pada visi besar: ilmu
yang dipunya, sebesar apa bermanfaat bagi kemanusiaan, kebenaran, dan dakwah?
Mengapa selalu dakwah? Sebab hakikat
kehidupan yang selamat dan tidak merugi yaitu
manakala ‘saling menasihati dalam kebenaran, saling menasihati dalam kesabaran’.
Kegiatan saling itu merupakan
kegiatan dakwah. Dari lingkup yang sederhana hingga yang lebih kompleks.
Bagaimana membuat anak memiliki visi besar itu? InsyaaAllah tips di bawah ini bisa membantu mengarahkan.
![]() |
https://pixabay.com/id/photos/perpustakaan-la-trobe-belajar-siswa-1400313/ |
Pertama, tanamkan
dan nasihatkan berulang agar meluruskan niat. Apakah anak usia SD bisa diajak
berpikir demikian? Sangat bisa. Justru pada saat usia dini, fitrah mereka masih
terjaga, insyaaAllah mudah memasukkan nilai-nilai besar dalam benak. Niatkan menuntut ilmu sebagai bagian mensyukuri nikmat akal dan
kesehatan badan. Sebagai manusia, mereka
punya kelebihan besar yang menjadi pembeda utama dengan hewan: akal.
Kedua, momen apa
pun, kaitkan dengan ilmu. Modal besar untuk membiasakan ini hanya satu: orang
tua harus banyak membaca. Berat? Tentu saja. Bukankah menanam hal besar perlu
usaha besar pula? Kita sedang membentuk sosok masa depan, calon pelaku zaman
mendatang. Jangan berharap hasil baik dari usaha ecek-ecek.
Ketiga, jadikan
buku dan membaca sebagai kebutuhan. Sering sekali saya mendapatkan keluhan dari
para ibu begini: “Susah, kalah saingan dengan hp.” Tentu saja susah, karena sejak
awal ayah dan bunda tidak suka membaca! Bagaimana bisa mengharapkan anak suka
membaca, akrab dengan buku, terbiasa dengan buku, jika lingkungannya tidak
dibentuk? Jangan menyalahkan gawai dahulu. Telisik di rumah, berapa banyak buku
dimiliki? Berapa sering anak-anak diajak beli buku? Seberapa bagus orang tua
mencontohkan membaca?
Keempat, terlibatlah
dalam kegiatan sekolah anak. Terlibat bukan berarti intervensi. Keterlibatan
level sederhana adalah menanyakan: “Tadi apa saja yang dilakukan di sekolah?
Gembira? Senang? Ada masalah?” Pertanyaan itu akan memantik cerita, baik
panjang atau pendek. Responlah dengan santai, tenang, hindari nasihat
berkepanjangan. Just listen, dengarkan. Tidak semua kejadian perlu disikapi
dengan petuah-petuah. Kadang bisa ditanya balik: “Menurut kamu, bagaimana?”
Dari situ, kita bisa menggali perasaan dan pemikian anak.
Kelima,
selesaikan masalah belajar. Menyelesaikan masalah belajar dimulai dari kesadaran utuh akan adanya
masalah. Tuntun anak untuk mendeteksi dini dalam diri mereka, bahwa mereka sedang
punya masalah belajar, dan butuh bantuan untuk menyelesaikannya.
Keenam, luangkan
refresh. Bersantai bersama. Bergembira bersama. Lepas dulu dari urusan tugas,
ulangan, pembicaraan seputar hal-hal itu. Dengan refresh bersama, Anda punya
waktu menguatkan kembali kehangatan antaranggota keluarga.
Urusan
keranjingan belajar itu urusan membangun mental belajar. Mentalnya, motivasinya.
Memelihara motivasi dan mental belajar
erat kaitannya dengan ketahanan menanggung beban. Motivasi tinggi, insyaaAllah
akan membuatnya lebih kuat untuk menanggung beban masalah. Itulah tujuan
belajar yang sesungguhnya: mampu memecahkan masalah kehidupan. Fungsi ilmu
adalah untuk memecahkan masalah kehidupan dengan cara yang tepat, yaitu agama.
Wallahu'alam bishshawab.
Tidak ada komentar: