BERAT BADAN DAN NYANYIAN NAJMA
![]() |
Najma cuwantik..;) |
Berat badan saya seputar 48 – 49, dengan tinggi badan mentok di 150 cm kurang dikit. Dikiiit, kok. Bisa dipermak dengan menambah tinggi sepatu barang dua sentimeter.
Kenapa ujug-ujug
cerita tentang berat badan?
Sebab pertama, sebagai tanggapan atas tulisan disini
Sebab pertama, sebagai tanggapan atas tulisan disini
Sebab kedua, beberapa
group wa alumni, jika singgung berat badan, heboh. Ada yang memberi julukan The
Big, bagi kelompok yang mengembang dengan sukses. Makmur, bahagia, dan
subur.
Isu berat badan
menjadi bahan diskusi asyik. Kadang disertai dengan mengunggah foto diri untuk
membuktikan kebenaran fakta ‘ I am getting bigger’. Biasanya saya hanya
mengamati saja. Bukan apa-apa. Saya termasuk yang tidak punya prestasi
mengembang sebagaimana teman-teman.
Boro-boro
mengembang, saya bahkan mudah sekali turun bobot. Pernah sepekan, menurun 1, 4
kg. Penyebabnya? Diare! Hehehe. Tidak elit, bukan? Masalahnya, saat diare, saya
tengah berobat akibat sakit. Dan setiap kali kontrol ke dokter, berat badan
saya tidak boleh turun. Harus stabil. Lebih baik lagi jika naik.
Begini kata perawat
yang mencatat perkembangan medis saya:
“Kok berat badannya
turun, Bu? Dinaikkan, ya,” katanya.
Tiba-tiba saya merasa
serupa balita di posyandu! Periksa, timbang. Tinggal ditambahi grafiknya saja.
Kecilnya badan saya, mungkin memang dianggap prestasi. Tapi kadang, itu menjadi bahan lelucon juga.
Misalnya, ketika menjahitkan kain ke tetangga, Saya hendak membuat rok. Bu Rima, sebut saja begitu, mulai mengukur badan saya. Begitu tiba lingkar pinggang, dia melongo. Kemudian meledak tawa.
"Ini benar cuma segini??" katanya, sambil memelototi angka di meterannya, yang berkisar enam puluhan sentimeter. Dia terkekeh geli, sambil membandingkan dengan badannya sendiri.
"Kok bisa kecil, sih?" masih sambil tergelak-gelak. Entah apanya yang lucu. Saya nginyem sendiri. Tidak merasa tersanjung sedikitpun dengan kata-katanya.
Syukurlah, alhamdulillah, ada perbaikan keturunan pada anak-anak.
Kecilnya badan saya, mungkin memang dianggap prestasi. Tapi kadang, itu menjadi bahan lelucon juga.
Misalnya, ketika menjahitkan kain ke tetangga, Saya hendak membuat rok. Bu Rima, sebut saja begitu, mulai mengukur badan saya. Begitu tiba lingkar pinggang, dia melongo. Kemudian meledak tawa.
"Ini benar cuma segini??" katanya, sambil memelototi angka di meterannya, yang berkisar enam puluhan sentimeter. Dia terkekeh geli, sambil membandingkan dengan badannya sendiri.
"Kok bisa kecil, sih?" masih sambil tergelak-gelak. Entah apanya yang lucu. Saya nginyem sendiri. Tidak merasa tersanjung sedikitpun dengan kata-katanya.
Syukurlah, alhamdulillah, ada perbaikan keturunan pada anak-anak.
Nabila, yang
pertama, tinggi menjulang 160-an cm, kelas dua SMA. Anak saya kedua, kelas enam
SD, tingginya sudah melampaui saya. Berat badannya 51 kg. Bongsor, montok.
Suatu waktu, kami
berkumpul berenam di ruang tamu. Najma tengkurap di depan saya dan Ayah. Zahra
juga tengkurap di sebelah lainnya.
“Naj, bokongmu gede
banget!” goda Ayah.
“Bunda juga!”
katanya cuek. Adik-adiknya tertawa.
“Kamu belum haid,
kelas enam, sudah sebesar ini. Ntar
kalau haid, tambah tinggi tambah besar juga, ya,” kata saya sambil
menepuk-nepuk pahanya.
“Baguslah. Timbang
Bunda, sudah haid gak gede-gede, “ Najam melirik saya kenes.
Ayah, Nabila, Zahra
dan Hafidz tergelak-gelak. Ayah pakai acara tambahan; melirik penuh geli pada
saya. Saya? Keqi berat, lah. Tapi seperti halnya emak-emak sejati, bukan saya
namanya jika tak bisa memutar otak dengan cepat. Mencari cara ‘ngeles’ dengan
cantik. Kalau perlu, sekaligus menyeret satu dua orang agar senasib.
“Gak papaaaaa....
Kecil-kecil gini, Ayah kepincut berat sama Bunda. Tanya Ayah tuuuh,” saya mulai
melempar umpan.
“Iya lah, Ayah mau sama
Bunda. Sebab Ayah begini... Begini nih..,” Najma bergerak sedikit. Dia juga
berhenti berbicara sejenak. Lagaknya memberi efek penasaran. Maka kami tak ada yang
bersuara, menunggu. Terhipnotis dalam diam, memandangnya, hingga mulut Najma kembali membuka.
“Begini : ‘...sudah
terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama ku sibuk sendiri...’.” Najma bernyanyi
dengan suara rendah tapi berat.
Meledaklah tawa
semuanya. Terpingkal-pingkal. Geli bercampur terkejut. Tak mengira Najma akan bersenandung
dengan cara begitu menghayati, begitu sendu, tapi matanya berpendar begitu jenaka. Jail bin usil.
Ayahnya
tergelak-gelak, gembira tiada tara. Sembari mata hitamnya mengerling pada saya.
Zahra terkekeh-kekeh bersama Hafidz. Nabila terguling-guling sambil
menunjuk-nunjuk saya.
Saya? Sekian detik,
mati gaya. Itu hantaman balik tak terduga. Otak saya macet, kehilangan
kata-kata. Bagaimana cara membalasnya? Bagaimana menutupi gaya yang nyangkut di lorong keqi?
Cengar-cengir gak
jelas, itu cara saya bereaksi. Gak jelas, campur aduk antara takjub, geli, lucu, keqi,
malu. Juga sebal. Cerdas nian dia mendeskripsikan lewat lagu. Dahsyat
pukulannya. Telak! Skak mat!
Begitulah. Saya diam
saja, senyum-senyum. Biarkanlah mereka, orang-orang yang saya cintai,
berguling-guling tertawa. Biarkanlah mereka menikmati indahnya pemandangan
wajah saya yang sedang pura-pura tersipu.
Jadi, jika di kalangan
teman-teman langsingnya saya menjadi bahan pertanyaan ‘kok bisa?’; maka di
hadapan anak-anak dan suami, ceritanya jadi lain. Kejadian itu membuat saya penasaran juga. Saya googling di tab, mencari lirik lagu itu. Ingin tahu isi lagu seluruhnya.
"Siapa yang search lagu ini?" Najma bertanya sambil menunjukkan tab.
"Bunda ya? Wehehehehe.... Penasaran, ya? Wahahaha," Najma tergelak-gelak kembali.
Malangnya saya. Skornya jadi telak, 3 - 0!
Hahaha.. saya ikut tertawa baca ini.. apalagi baca jawaban Najma... :D
BalasHapusWuahhhh beruntung nya dirimu mak
BalasHapusTErgantung sudut pandangan, Mak. Bagi anak-anak, kecilnya saya itu menggelikan..hehehe
Hapussaya juga kecil Mbak :D
BalasHapushuahahahh, kayaknya Najma ini ikut bakat usil Uminya yaah, xiixixix
makasih ya Mbak tanggapannya^^
Hehehe... usil itu bakat terpendam emaknya..
HapusKayak adikku tuh, anaknya 8 tapi tetap langsing. Btw, itu lagunya siapa sih?
BalasHapus